Jumat, 03 Juni 2011

Alam sebagai Basis Perancangan, Kaidah Proporsi dan Arsitektur

Kali ini saya akan membahas tentang bentuk geometri yang ada di dalam alam semesta ini, saya mendapatkan materi pembahasan ini pada saat saya kuliah disalah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta Timur, mata kuliah estetika bentuk banyak mengajarkan tentang bentuk - bentuk dasar arsitektur, salah satunya bentuk-bentuk dasar pada alam. Sebagai contoh, Bintang adalah salah satu bentuk (wujud) yang sangat banyak ditemukan pada alam, misalnya pada bunga, dan beberapa jenis organisme air. Bintang merupakan bentuk geometri yang ‘ajaib’ karena garis-garis penyusun bentuk bintang dapat menghasilkan golden proportion.
Dari golden proportion, dapat terbentuk golden rectangles, yang bila disusun terus menerus seperti pada ilustrasi berikut akan menghasilkan pola bentuk spiral, seperti pola spiral pada keong.
Kemudian, golden rectangles ini banyak diaplikasikan sebagai suatu kaidah perancangan pada arsitektur klasik. Contohnya pada bangunan Parthenon berikut, yang menggunakan kaidah golden rectangles (atau golden proportions) mulai dari lingkup bangunan secara keseluruhan sampai pada detail terkecilnya. Tidak hanya digunakan pada arsitektur, kaidah tersebut juga banyak diaplikasikan pada karya seni klasik, seperti patung atau lukisan.
Manusia banyak terinspirasi dari alam. Manusia cenderung hidup dengan belajar dari alam sekitarnya, mensarikan yang ia pelajari, kemudian mengaplikasikan hasil pembelajarannya tersebut terhadap apa yang ia ciptakan.
.. For Aristotle, imitation (mimesis in Greek) is the natural human ability to envision things as they ought to be, as a modified version of the way they are.. (Crowe:1999)
.. Vitruvius therefore is saying that mimesis is natural to man, that it involves learning from things as they are found to be and then building upon that knowledge to make things “as they ought to be”.. (Crowe:1999)
Saya melihat ada suatu kesinambungan antara bentuk-bentuk alam, proporsi, dan arsitektur. Menurut saya, pada zaman arsitektur klasik, manusia mempelajari geometri dari bentuk-bentuk alam dan mensarikan pola-pola yang berhasil terungkap. Seperti bentuk bintang tadi yang banyak ditemukan di alam, ternyata menghasilkan golden proportion. Atau tubuh kita sendiri yang ternyata juga mengandung kaidah golden proportion. Dan kaidah tersebut diterapkan pada karya-karya manusia, termasuk arsitektur.
Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, bila saat itu manusia memang mempelajari bentuk-bentuk alam, mengapa “rumusan” yang dihasilkan berupa kaidah proporsi yang cenderung terkotak-kotak (ber-grid-grid), dan penuh dengan perhitungan matematis (seperti pada golden proportion atau teori Fibonacci)?
Eugene Tsui, seorang pengarang buku Evolutionary Architecture (Nature as a Basis for Design), mengatakan …the designation of space is determined by purely responsive and compositional elements, not as a grid-plane layout… (Tsui:1999)
Ruang merupakan sesuatu yang memiliki variasi bentuk dan pola, dinamis, dapat menekuk, melengkung, dan berliku-liku. Tidak ada order. Bila alam adalah basis untuk merancang, mengapa harus membuatnya terkotak-kotak?
Nature does not come forth with a predetermined shape (like the box) and then try to negotiate forces acting on that shape. In nature, the shape is determined by the forces act on it. (Tsui:1999)